Kamis, 05 Januari 2012

Tol Trans Jawa Ancam Kelestarian Hutan

Desain jalan tol di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi dan Saradan yang membelah kawasan hutan berpotensi mengganggu rencana pengaturan kelestarian hutan. Terbelahnya hutan juga membuat hutan rawan pencurian kayu dan okupansi.
Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi, luas hutan yang akan digunakan jalan tol sesuai dengan desain jalan tol dari Departemen Pekerjaan Umum adalah 32,98 hektar dari total luas hutan 45.912 hektar, sedangkan di KPH Saradan seluas 79 hektar dari luas total 38.000 hektar.
Saat ini kawasan hutan di KPH Ngawi dan KPH Saradan terbelah tiga jalur, yaitu jalur kereta api, jalur saluran udara tegangan tinggi (SUTT), dan jalan raya Surabaya-Solo. Jika jalan tol dibangun, kawasan hutan akan semakin terpecah-pecah.
Bisa buyar
Kepala Humas KPH Saradan Yusuf Zen Arifin pada Senin (31/8) mengemukakan, kawasan hutan ini berpotensi mengganggu rencana pengaturan kelestarian hutan. Rencana ini berisi rencana penanaman tanaman baru, penyemaian, dan areal penebangan pohon di suatu kawasan hutan.
Administratur KPH Ngawi Budi Setiyono menambahkan, rencana itu dibuat untuk pengembangan kawasan hutan di masing-masing KPH selama 10 tahun. Di KPH Ngawi, perencanaan ini dibuat tahun 2008 untuk pengaturan kelestarian hutan sampai tahun 2018. "Rencana pelestarian hutan yang telah dibuat ini bisa buyar jika jalan tol dibangun," ujarnya.
Apalagi, kata dia, di KPH Ngawi akan ada petak hutan yang luasnya hanya 1,44 hektar dan 3,8 hektar di Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Sambirejo jika jalan tol dibangun. Padahal, idealnya satu petak hutan terdiri dari 40 hektar hutan. Sementara untuk dimasukkan ke kategori anak petak hutan pun tidak mungkin karena minimal harus terdiri dari 4 hektar hutan. "Areal hutan yang kecil itu akan menjadi areal hutan yang tidak layak dikelola," ujar Budi.
Jika Departemen Pekerjaan Umum memaksakan desain jalan tolnya, kedua areal ini terpaksa diubah menjadi lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI), yang salah satunya bisa digunakan untuk tempat peristirahatan.
Selain berpotensi mengganggu rencana pelestarian hutan, Yusuf mengatakan bahwa kelestarian hutan juga akan terancam. Semakin terbelahnya kawasan hutan akan mempersulit KPH mengawasi hutannya dari kemungkinan pencurian kayu dan okupansi liar oleh warga.
Atas dasar itu, KPH Ngawi dan KPH Saradan mengusulkan agar desain jalan tol diubah. Kedua KPH ini meminta agar jalan tol dibuat di samping jalur SUTT. Dengan usul kedua KPH ini, areal hutan yang digunakan untuk jalan tol lebih sedikit, begitu pula biaya yang dikeluarkan.
Jika mengikuti usul KPH Ngawi dan KPH Saradan, areal hutan yang digunakan untuk jalan tol hanya 56 hektar atau jauh lebih sedikit dari desain jalan tol Departemen Pekerjaan Umum yang menghabiskan 111 hektar hutan.
Dari usul kedua KPH itu, jalan tol tidak perlu dibuat di atas sungai. Sementara berdasarkan desain jalan tol Departemen Pekerjaan Umum, jembatan tol harus dibuat di atas dua sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar