Kamis, 05 Januari 2012

Pelestarian Hutan: Pelibatan Masyarakat Adat Minim

BANDA ACEH,Krisis kehutanan yang terjadi Aceh, salah satunya karena sangat kurangnya pelibatan masyarakat pemangku adat dalam langkah pelestarian. Pemerintah dinilai lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal yang cenderung eksploitatif dalam mengelola hutan Aceh.
Demikian pemikiran yang berkembang dalam acara seminar lingkungan yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Canniva Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, di Banda Aceh, Selasa (10/5).
Dalam seminar itu hadir sebagai pembicara staf pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unsyiah, Monalisa, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM Zulfikar, Ketua Forum Mukim Aceh Besar, Nasrudin, dan Wakil Gubernur Aceh M Nazar yang diwakili Kepala Biro Perekonomian Provinsi Aceh, T Sofyan.
Monalisa mengungkapkan, hampir pada semua tahapan pelestarian hutan yakni mulai dari penyuluhan dan langkah pelestarian, masyarakat adat tak dilibatkan. Kalaupun ada, tak ada pemuka adat yang jadi tokoh utama. Padahal, dalam struktur sosio kultural masyarakat Aceh, pemuka adat mempunyai peran penting dalam berinteraksi dengan alam.
Kondisi tersebut, lanjut Monalisa, terjadi karena minimnya komunikasi pemuka adat dengan pemerintah, serta beberapa mitra lainnya dalam pelestarian hutan. Hambatan lainnya adalah soal kelembagaan sosial.
"Ada sosialisasi, namun disampaikan dalam bahasa yang tak dimengerti pemuka adat. Ada juga keengganan dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, karena sering lamban untuk menindaklanjuti. Sejumlah isu lingkungan seperti moratorium logging, pemanfaatan karbon (REDD), dan hutan masyarakat adalah isu lingkungan yang tak pernah dimengerti," kata Monalisa.
Menurut Zulfikar, kebijakan pemerintah dalam soal kehutanan selama ini tak berdampak pada terciptanya kelestarian, karena di sisi lain praktik eksploitasi kawasan hutan untuk pertambangan, perkebunan, dan penebangan cenderung dibiarkan. Bahkan, pemerintah pusat maupun daerah masih saja mengeluarkan izin pertambangan di Aceh.
"Pemerintah kita sepertinya cukup puas mendapat keuntungan yang tak lebih dari 10 persen, bahkan lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang berdalih investasi. Pendapatan dari sektor pertambangan hanya 3-4 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerusakan yang dialami hutan kita," ujar Zulfikar.
"Masyarakat sekitar hutan hanya jadi penonton. Hutan sekitar mereka dijarah namun mereka tetap miskin," tambahnya.
Minimnya pelibatan itu, membuat masyarakat pun enggan menjaga hutan dari perambahan besar-besaran. Konflik lahan kehutanan pun menjadi sangat sering terjadi di wilayah Aceh, khususnya antara masyarakat pemangku adat dengan perusahaan perkebunan ataupun pertambangan.
Nasrudin mengungkapkan, sebagai bagian dari masyarakat adat, sampai saat ini nyaris tak ada pelibatan kepala mukim dalam pelestarian hutan. Istilah-istilah semacam REDD, moratorium, pun tak pernah dijelaskan tuntas dan apa manfaat yang didapat.
Kami sebagai pemangku adat terus terang tak mengerti dengan langkah pemerintah mengurusi hutan. Pemerintah hanya sibuk menarik investor. Tapi, yang masuk ternyata investor pertambangan yang bisanya mengeksploitasi hutan," kata Nasrudin.
Sementara M Nazar mengatakan, sebenarnya dalam upaya pelestarian kehutanan di Aceh, pelibatan peran masyarakat adat sudah diupayakan. Ini seperti diatur dalam Qanun 10 Tahun 2008, yang mengatur fungsi dan jabatan serta struktur masyarakat adat dalam mengurusi sumber daya alam.
"Misalnya, Panglima Laot bertugas memimpin persekutuan adat di laut. Panglima Uteun menjalankan fungsi menegakkan norma adapt yang berkaitan dengan etika memasuki dan mengelola hutan adap,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar