Kamis, 05 Januari 2012

Berkolaborasi Agar Hutan Lestari

Berbagai kalangan makin gelisah atas parahnya kerusakan hutan di Lampung. Maka, sejumlah konsep penyelamatan hutan coba ditawarkan. Salah satunya adalah pola manajemen kolaboratif yang sedang dengan gencar diayun Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Untuk mematangkan konsep pengelolaan hutan dengan pelibatan multi-pihak itu, Dinas Kehutanan menggelar Pelatihan dan Pembentukan Jaringan Komunitas Konservasi. Acara yang dihelat di Gedung Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Bandarlampung, 6 Februari lalu itu, dihadiri sejumlah kalangan.  Yakni, pemerintah, anggota legislatif, tokoh partai politik, aktivis LSM, akademisi, dan masyarakat.
Kabid Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Lampung, LJ Sirait, mengemukakan daerah ini memiliki hutan seluas satu juta hektare lebih. Yakni, sepertiga dari sekitar tiga juta hektare luas wilayah Lampung. Tetapi, 65 persen di antaranya sudah rusak. Antara lain akibat penebangan liar serta diubah menjadi perladangan, perkebunan, dan permukiman.
Edison, Koordinator Forum Penyelamatan Hutan Lampung (FKPHL), menyebutkan kerusakan itu merupakan kerugian yang besar. Secara ekologis, degradasi mutu hutan itu menyebabkan berkurangnya habitat satwa, keanekaragaman hayati, produksi oksigen, penyerapan karbondioksida, dan daerah resapan air.
Untuk menyelamatkan dan memulihkan hutan di Lampung perlu kerjasama semua pihak. Karena itu, Edison mendukung Dinas Kehutanan yang mengayun pola manajemen kolaboratif.
Peserta pelatihan juga sepakat tidak membentuk Jaringan Komunitas Konservasi. Mereka lebih memilih mengaktifkan Forum Penyelamatan Hutan Lampung (FKPHL) yang dideklarasikan pada Desember 2008.
Lembaga ini beranggotakan Dinas Kehutanan Lampung, Polda, Kejaksaan Tinggi, Walhi, Watala, AJI, WWF, beberapa partai politik, dan sejumlah individu. Edison, mengatakan organisasinya membuka diri bagi semua individu dan lembaga yang peduli terhadap pelestarian hutan untuk menjadi anggota.
Selain menghidupkan forum-forum dialog, Dinas Kehutanan Lampung sekarang fokus pada upaya penyelamatan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman (Tahura WAR).
Pada Kamis 10 Desember lalu, instansi ini menggelar sosialisasi dan tatap muka dengan warga Desa Kubang Badak, Kecamatan Padangcermin, Kabupaten Pesawaran. Ini adalah desa yang masuk kawasan Tahura WAR. Jalan menuju permukiman warga sudah terbuka sehingga mudah dilewati kendaraan, baik motor maupun mobil. Dengan motor butuh waktu 30 menit dari Bandarlampung untuk sampai di desa berpenduduk sekitar 60 KK itu.
Di Desa Kubang Badak ini, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung melakukan pendekatan komunikasi dan memberikan pengarahan mengenai pentingnya menjaga kelestarian kawasan hutan. Kepada warga diberi pemahaman, Tahura WAR adalah kawasan konservasi. Maka, tidak boleh ada aktivitas dan permukiman warga. Sebab akan mengubah fungsi hutan, terutama sebagai penata air dan penstabil iklim.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Hanan A. Rozak memberikan solusi kepada warga sekitar Tahura. Warga diperbolehkan menggarap lahan yang telah dikelola tetapi dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Yakni, segala aktivitas warga di dalam kawasan Tahura tidak boleh sampai merusak fungsi konservasinya. Seperti, menebang pohon, berkebun, apalagi berladang. Maka dari itu, pemerintah meminta tidak ada lagi permukiman di dalam Tahura WAR.
Dinas Kehutanan menggelar sosialisasi dan tatap muka itu sebagai langkah mengubah strategi penyelamatan kawasan konservasi. Yakni, dari cara-cara represif ke upaya persuasif. Pada tahun 1990-an, pemerintah mengusir warga dari Tahura dengan kekerasan.
Sekarang, langkah represif itu tidak akan diambil karena terbukti menimbulkan banyak korban di tingkat warga. Langkah dialog dipandang paling tepat untuk mencapai kesepakatan antara warga dan pemerintah.
Dari berbagai dialog panjang sejak tahun 2005, pemerintah, LSM, dan warga bersepakat melestarikan Tahura WAR agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Watala, Rini Pahlawanti, melihat masalah Tahura WAR harus diselesaikan secara persuasif dan tidak dapat dituntaskan dengan cepat. Pemerintah juga mesti mengetahui terlebih dulu akar permasalahannya. Sebab, setiap warga di sana memiliki persoalan yang berbeda. Seperti, soal budaya dan konflik mengenai tapal batas kawasan.
Karena itu, perlu campur tangan pihak ketiga yang dianggap mampu bersikap netral. Persoalan Tahura WAR tidak akan selesai hanya dengan dialog warga dan pemerintah, kata Rini.
Tahura WAR memang makin memprihatinkan. Kawasan konservasi seluas sekitar 22 ribu hektare itu tinggal 39 persen yang berhutan. Sisanya, 55 persen berubah menjadi kebun campuran, 5 persen perladangan dan lahan terbuka, serta satu persen semak belukar.
Banyak pihak, sudah sejak lama mendesak kawasan konservasi ini diselamatkan. Sebab, Tahura WAR merupakan sistem ekologi yang vital bagi Bandarlampung dan Kabupaten Pesawaran.
Kawasan yang juga dikenal sebagai Register 19 Gunung Betung itu, selama ini berfungsi sebagai sistem tata air dan stabilitas iklim bagi Kota Bandarlampung dan Kabupaten Pesawaran.
Kerusakan hutan ini berarti mengancam ketersediaan air bagi warga Bandarlampung dan Pesawaran. Sejak beberapa tahun ini, warga Bandarlampung kian sulit memperoleh air bersih. Salah satu disebabkan oleh kian parahnya kerusakan Tahura WAR.
Dinas Kehutanan Lampung menyebutkan, kawasan ini menghadapi sejumlah tekanan. Penebangan liar, perambahan, dan alih fungsi hutan menjadi perladangan, perkebunan, dan permukiman, terus mengancam kelestariannya.
Di hutan yang sudah ditingkatkan statusnya dari lindung menjadi konservasi itu, terdapat banyak permukiman warga. Kawasan ini dikelilingi tujuh kecamatan dan 36 desa serta 67 dusun. Ada sekitar 117 ribu jiwa atau 23 ribu KK tinggal di dalam dan sekitar hutan konservasi tersebut.
Selain itu, jalan masuk ke hutan itu begitu terbuka sehingga memperberat tekanan terhadap sistem penyangga kehidupan tersebut. Kepala Dinas Kehutanan Lampung percaya, Tahura WAR dapat dipulihkan dengan pola manajemen kolaboratif.
Sekarang, Dinas Kehutanan, kalangan LSM, dan warga Tahura sedang menyusun kerangka operasional konsep pengelolaan multi-pihak itu. Intinya, ada kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Pada akhirnya akan tercapai keadaan: warga sejahtera, Tahura WAR tetap lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar